Pendidikan Seks
Hubungan Seksual Pertama Kali
Hubungan Seksual Pertama Kali
Diposkan oleh : Ruslan 12 Nop 2009 17:22
Kata orang, hubungan seksual pertama kali meninggalkan kesan tersendiri yang sulit dilupakan. Mungkin kata-kata itu benar, tetapi mungkin juga tidak. Ketika kita bicara tentang "kesan tersendiri," apalagi "yang sulit dilupakan," tentu kita berasosiasi pada sesuatu yang indah atau menyenangkan. Padahal tidaklah selalu demikian.
Tidak sedikit orang, terutama wanita, yang kemudian mengalami masalah seksual akibat trauma hubungan seksual pertama kali. Seorang pasien saya, wanita 26 tahun, selama dua tahun menikah terpaksa harus membohongi suaminya setiap kali melakukan hubungan seksual. Suatu tindakan bohong yang sebenarnya tergolong konyol karena sang suami yang seorang sarjana tidak mengetahui apa yang telah dilakukan istrinya setiap kali melakukan hubungan seksual. Ternyata hubungan seksual yang mereka lakukan adalah hubungan anal sex, yang sengaja dilakukan oleh sang istri sementara suaminya tidak mengetahui.
Masalahnya, sang istri mengalami suatu gangguan fungsi seksual yang disebut vaginismus, yaitu suatu kekejangan abnormal otot vagina dan sekitarnya sehingga hubungan seksual tidak mungkin dilakukan. Apa sesungguhnya yang menyebabkan gangguan itu?
Inilah peristiwa seksual yang dialami ketika pertama kali wanita itu melakukan hubungan seksual. Peristiwa itu terjadi pada malam pertama, ketika suaminya dengan sangat bergairah dan tergesa-gesa melakukan hubungan seksual, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepadanya untuk sekadar berbaring dulu menikmati aroma malam pengantin. Dia yang saat itu tidak siap dan tidak terangsang, mengalami rasa sakit yang cukup menyiksa. Keadaan ini, yang diperparah oleh rasa ngeri melihat bercak darah, telah membekas sangat dalam di dalam dirinya. Kemudian hari-hari selanjutnya, bukan kemanisan bulan madu yang ia nikmati, melainkan penderitaan, setiap kali suaminya mendekat dan melakukan hubungan seksual.
Pengalaman malam pertama itu benar-benar merupakan trauma seksual bagi wanita itu. Ternyata hubungan seksual tidaklah seindah apa yang dibayangkan sebelumnya. Akibatnya ternyata cukup menyedihkan dan berkepanjangan. Selama dua tahun perkawinan itu ia cukup menderita setiap kali melakukan hubungan seksual. Setiap kali melakukannya, ia merasa ketakutan, yang kemudian harus dilanjutkan dengan kebohongan berupa hubungan anal sex yang ternyata tidak diketahui oleh sang suami.
Kini, setelah dua tahun menikah, wanita itu mulai bosan dan jengkel dengan apa yang dilakukan dan disembunyikan dari suaminya. Dia juga ingin menikmati kehidupan seksual yang normal. Lebih dari itu, muncul masalah lain karena sang suami, sering bertanya mengapa kehamilan tak kunjung datang. Jawabannya tentu saja sangat mudah: mana mungkin terjadi kehamilan kalau hubungan seksual selalu berlangsung secara anal sex. Kini dia justru pusing bagaimana harus menjawab pertanyaan suami, mengapa kehamilan tak kunjung datang. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi sang suami kalau dia harus berterus terang bahwa hubungan yang selama ini dilakukan adalah hubungan anal sex.
Ternyata trauma seksual pertama kali bukan hanya dialami oleh wanita, melainkan juga pria. Pengalaman seksual pertama kali yang kemudian berakibat buruk dialami pula oleh pasien saya yang lain, seorang laki-laki berusia 30 tahun. Pada malam pengantinnya, sang istri yang memang sudah berpengalaman seksual sebelumnya, mengeluh karena pria itu terlalu cepat mengalami ejakulasi sehingga ia tidak merasa puas. Pria yang memang belum pernah melakukan hubungan seksual itu, benar-benar merasa terpukul dan malu, di samping kecewa dan tidak berdaya.
Hari-hari selanjutnya, bagai di dalam neraka bagi pasangan suami-istri itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Pria itu mengalami impotensi, dan tentu saja istrinya pusing kepala. Maka kacaulah suasana pengantin baru itu. Bahkan gangguan fungsi seksual itu tetap berlanjut sampai setahun kemudian, sampai dia datang ke klinik saya.
Kedua kasus ini hanya sekadar contoh betapa pentingnya pengalaman seksual pertama kali, atau pada malam pengantin, atau pada masa bulan madu. Banyak lagu atau kisah cinta yang mengumandangkan kemesraan suami-istri pada malam pengantin atau pada masa bulan madu. Masa ini adalah masa awal pernikahan sejak malam pengantin, yang diharapkan oleh pasangan pengantin baru sebagai masa yang penuh kemesraan. Tetapi ternyata tidak sedikit pengantin baru yang tidak menikmati kemanisan dan keindahan masa bulan madu. Kedua kasus di atas merupakan contoh yang jelas. Bagi mereka, masa bulan madu hanyalah impian pengarang lagu dan kisah cinta. Bahkan malam pengantin dan masa bulan madu merupakan masa yang menyakitkan, yang berakibat sangat panjang dan melelahkan.
Pengalaman seksual pada malam pertama memang perlu diperhatikan oleh pengantin baru. Suami-istri yang sama-sama belum berpengalaman secara seksual, tentu memerlukan waktu untuk mengerti dan merasakan nilai hubungan seksual sebagai suatu bentuk komunikasi yang paling dalam. Dan inilah nilai moral secara umum yang masih berlaku di masyarakat kita, walaupun tidak dapat dibantah bahwa hubungan seksual sebelum menikah telah banyak terjadi.
Seorang suami harus memaklumi kecemasan dan ketakutan seorang istri yang belum pernah melakukan hubungan seksual, pada malam pengantin. Maka suami harus mampu menahan diri sambil menciptakan suasana erotik, dan memberikan rangsangan seksual yang cukup efektif agar sang istri benar-benar menjadi siap, baik secara fisik maupun psikis. Dalam keadaan cukup terangsang dan siap secara total, sang istri tidak akan diganggu oleh rasa sakit. Atau kalau pun masih muncul rasa sakit, akan diterima sebagai sesuatu yang wajar, bukan sebagai sesuatu yang menyiksa.
Demikian pula dengan kegiatan hubungan seksual, dapat diterima dan dilakukan sebagai suatu kebutuhan dan ekspresi cinta suami-istri. Kesan yang membekas di hati istri akan sangat berbeda kalau sang suami melakukannya semata-mata berdasar atas dorongan seksualnya sendiri tanpa memperhatikan kesiapan istrinya, baik secara fisik maupun psikis.
Sebaliknya, kalau istri telah berpengalaman sedang sang suami "masih perawan", maka istri diharapkan dapat memaklumi ketidakharmonisan yang terjadi pada malam pertama. Di sini sang istri dituntut bersabar, memberi waktu kepada suaminya agar memahami bagaimana hubungan seksual yang sebenarnya. Ketidaksabaran istri dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan pada sang suami. Kasus suami di atas merupakan contoh jelas tentang ketidaksabaran atau sikap tidak menyenangkan di pihak istri, yang berakibat buruk terhadap seksualitas suami. Dan lebih menyedihkan, itu terjadi pada malam pengantin.
Berbeda dengan suami-istri yang sebelumnya telah berpengalaman secara seksual, terlepas dari norma moral atau agama yang ada. Dengan pengalaman itu, tentu mereka tidak terlalu banyak mengalami masalah pada malam pengantin. Paling tidak, bila dibandingkan dengan mereka yang belum berpengalaman sama sekali. Ini dapat dimengerti, karena kegiatan hubungan seksual sebenarnya adalah suatu proses belajar juga. Tidak benar hubungan seksual disebut sebagai kegiatan yang bersifat alamiah, artinya bukan hasil belajar.
Tetapi bukan berarti pasangan yang sudah lama menikah atau sudah lama berpengalaman dalam melakukan hubungan seksual pasti mengerti benar tentang seksualitas. Ini terbukti dari banyaknya pasangan suami-istri yang telah lama menikah tetapi gagal membina kehidupan seksual yang harmonis karena ketidakmengertian tentang seksualitas, baik seksualitas dirinya maupun lawan jenisnya.
Hubungan seksual yang berlangsung benar dan harmonis adalah hasil suatu proses belajar yang didasarkan atas pengetahuan seksualitas yang benar pula. Lalu apakah ini berarti, orang harus berpengalaman seksual dulu sebelum menikah? Tentu saja tidak harus demikian, karena ada nilai-nilai yang mengatur hubungan seksual antarmanusia. Maka akan sangat bermanfaat dan sangat membantu bila pasangan suami-istri dibekali dengan pendidikan seks sebelumnya. Tentu saja materinya disesuaikan dengan usia dan kebutuhan mereka sebagai orang dewasa, calon pengantin.
Memang terasa janggal kalau sepasang pengantin baru memasuki kamar pengantin, tetapi tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan mereka lakukan. Salah-salah, akibat buruk yang terjadi, seperti pada kedua kasus di atas.
Pendidikan seks khusus untuk orang dewasa atau calon pengantin dapat diberikan dalam bentuk satu paket kursus, yang membahas tentang seksualitas laki-laki dan perempuan. Teknik melakukan hubungan seksual merupakan sebagian materi khusus itu. Dengan demikian, pengantin baru memiliki pengetahuan yang cukup tentang seksualitas dirinya dan lawan jenisnya, dan tentu saja tentang apa yang mereka lakukan pada malam pertama. Materi pendidikan seks untuk orang dewasa ini tentu saja sangat berbeda dengan materi pendidikan seks untuk remaja, apalagi untuk anak-anak.
Dengan memiliki pengetahuan yang benar tentang seksualitas diri sendiri dan lawan jenisnya, hubungan seksual pertama kali akan berlangsung lebih baik walaupun mungkin belum seperti yang diharapkan. Tetapi paling tidak, trauma seksual dapat dihindari sehingga tidak terjadi akibat buruk seperti yang dialami oleh kedua kasus di atas. Selanjutnya melalui proses belajar pasangan itu harus berusaha membina kehidupan seksualnya agar berlangsung harmonis.
Walaupun demikian, bukan berarti gangguan seksual tidak akan terjadi sama sekali. Gangguan fungsi seksual yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam hubungan seksual, mungkin saja terjadi mengingat faktor penyebabnya bervariasi. Kalau ini terjadi diharapkan pasangan itu menyadari, gangguan yang ada harus dilenyapkan agar dapat dicapai kehidupan seksual yang harmonis.
Tidak sedikit orang, terutama wanita, yang kemudian mengalami masalah seksual akibat trauma hubungan seksual pertama kali. Seorang pasien saya, wanita 26 tahun, selama dua tahun menikah terpaksa harus membohongi suaminya setiap kali melakukan hubungan seksual. Suatu tindakan bohong yang sebenarnya tergolong konyol karena sang suami yang seorang sarjana tidak mengetahui apa yang telah dilakukan istrinya setiap kali melakukan hubungan seksual. Ternyata hubungan seksual yang mereka lakukan adalah hubungan anal sex, yang sengaja dilakukan oleh sang istri sementara suaminya tidak mengetahui.
Masalahnya, sang istri mengalami suatu gangguan fungsi seksual yang disebut vaginismus, yaitu suatu kekejangan abnormal otot vagina dan sekitarnya sehingga hubungan seksual tidak mungkin dilakukan. Apa sesungguhnya yang menyebabkan gangguan itu?
Inilah peristiwa seksual yang dialami ketika pertama kali wanita itu melakukan hubungan seksual. Peristiwa itu terjadi pada malam pertama, ketika suaminya dengan sangat bergairah dan tergesa-gesa melakukan hubungan seksual, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepadanya untuk sekadar berbaring dulu menikmati aroma malam pengantin. Dia yang saat itu tidak siap dan tidak terangsang, mengalami rasa sakit yang cukup menyiksa. Keadaan ini, yang diperparah oleh rasa ngeri melihat bercak darah, telah membekas sangat dalam di dalam dirinya. Kemudian hari-hari selanjutnya, bukan kemanisan bulan madu yang ia nikmati, melainkan penderitaan, setiap kali suaminya mendekat dan melakukan hubungan seksual.
Pengalaman malam pertama itu benar-benar merupakan trauma seksual bagi wanita itu. Ternyata hubungan seksual tidaklah seindah apa yang dibayangkan sebelumnya. Akibatnya ternyata cukup menyedihkan dan berkepanjangan. Selama dua tahun perkawinan itu ia cukup menderita setiap kali melakukan hubungan seksual. Setiap kali melakukannya, ia merasa ketakutan, yang kemudian harus dilanjutkan dengan kebohongan berupa hubungan anal sex yang ternyata tidak diketahui oleh sang suami.
Kini, setelah dua tahun menikah, wanita itu mulai bosan dan jengkel dengan apa yang dilakukan dan disembunyikan dari suaminya. Dia juga ingin menikmati kehidupan seksual yang normal. Lebih dari itu, muncul masalah lain karena sang suami, sering bertanya mengapa kehamilan tak kunjung datang. Jawabannya tentu saja sangat mudah: mana mungkin terjadi kehamilan kalau hubungan seksual selalu berlangsung secara anal sex. Kini dia justru pusing bagaimana harus menjawab pertanyaan suami, mengapa kehamilan tak kunjung datang. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi sang suami kalau dia harus berterus terang bahwa hubungan yang selama ini dilakukan adalah hubungan anal sex.
Ternyata trauma seksual pertama kali bukan hanya dialami oleh wanita, melainkan juga pria. Pengalaman seksual pertama kali yang kemudian berakibat buruk dialami pula oleh pasien saya yang lain, seorang laki-laki berusia 30 tahun. Pada malam pengantinnya, sang istri yang memang sudah berpengalaman seksual sebelumnya, mengeluh karena pria itu terlalu cepat mengalami ejakulasi sehingga ia tidak merasa puas. Pria yang memang belum pernah melakukan hubungan seksual itu, benar-benar merasa terpukul dan malu, di samping kecewa dan tidak berdaya.
Hari-hari selanjutnya, bagai di dalam neraka bagi pasangan suami-istri itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Pria itu mengalami impotensi, dan tentu saja istrinya pusing kepala. Maka kacaulah suasana pengantin baru itu. Bahkan gangguan fungsi seksual itu tetap berlanjut sampai setahun kemudian, sampai dia datang ke klinik saya.
Kedua kasus ini hanya sekadar contoh betapa pentingnya pengalaman seksual pertama kali, atau pada malam pengantin, atau pada masa bulan madu. Banyak lagu atau kisah cinta yang mengumandangkan kemesraan suami-istri pada malam pengantin atau pada masa bulan madu. Masa ini adalah masa awal pernikahan sejak malam pengantin, yang diharapkan oleh pasangan pengantin baru sebagai masa yang penuh kemesraan. Tetapi ternyata tidak sedikit pengantin baru yang tidak menikmati kemanisan dan keindahan masa bulan madu. Kedua kasus di atas merupakan contoh yang jelas. Bagi mereka, masa bulan madu hanyalah impian pengarang lagu dan kisah cinta. Bahkan malam pengantin dan masa bulan madu merupakan masa yang menyakitkan, yang berakibat sangat panjang dan melelahkan.
Pengalaman seksual pada malam pertama memang perlu diperhatikan oleh pengantin baru. Suami-istri yang sama-sama belum berpengalaman secara seksual, tentu memerlukan waktu untuk mengerti dan merasakan nilai hubungan seksual sebagai suatu bentuk komunikasi yang paling dalam. Dan inilah nilai moral secara umum yang masih berlaku di masyarakat kita, walaupun tidak dapat dibantah bahwa hubungan seksual sebelum menikah telah banyak terjadi.
Seorang suami harus memaklumi kecemasan dan ketakutan seorang istri yang belum pernah melakukan hubungan seksual, pada malam pengantin. Maka suami harus mampu menahan diri sambil menciptakan suasana erotik, dan memberikan rangsangan seksual yang cukup efektif agar sang istri benar-benar menjadi siap, baik secara fisik maupun psikis. Dalam keadaan cukup terangsang dan siap secara total, sang istri tidak akan diganggu oleh rasa sakit. Atau kalau pun masih muncul rasa sakit, akan diterima sebagai sesuatu yang wajar, bukan sebagai sesuatu yang menyiksa.
Demikian pula dengan kegiatan hubungan seksual, dapat diterima dan dilakukan sebagai suatu kebutuhan dan ekspresi cinta suami-istri. Kesan yang membekas di hati istri akan sangat berbeda kalau sang suami melakukannya semata-mata berdasar atas dorongan seksualnya sendiri tanpa memperhatikan kesiapan istrinya, baik secara fisik maupun psikis.
Sebaliknya, kalau istri telah berpengalaman sedang sang suami "masih perawan", maka istri diharapkan dapat memaklumi ketidakharmonisan yang terjadi pada malam pertama. Di sini sang istri dituntut bersabar, memberi waktu kepada suaminya agar memahami bagaimana hubungan seksual yang sebenarnya. Ketidaksabaran istri dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan pada sang suami. Kasus suami di atas merupakan contoh jelas tentang ketidaksabaran atau sikap tidak menyenangkan di pihak istri, yang berakibat buruk terhadap seksualitas suami. Dan lebih menyedihkan, itu terjadi pada malam pengantin.
Berbeda dengan suami-istri yang sebelumnya telah berpengalaman secara seksual, terlepas dari norma moral atau agama yang ada. Dengan pengalaman itu, tentu mereka tidak terlalu banyak mengalami masalah pada malam pengantin. Paling tidak, bila dibandingkan dengan mereka yang belum berpengalaman sama sekali. Ini dapat dimengerti, karena kegiatan hubungan seksual sebenarnya adalah suatu proses belajar juga. Tidak benar hubungan seksual disebut sebagai kegiatan yang bersifat alamiah, artinya bukan hasil belajar.
Tetapi bukan berarti pasangan yang sudah lama menikah atau sudah lama berpengalaman dalam melakukan hubungan seksual pasti mengerti benar tentang seksualitas. Ini terbukti dari banyaknya pasangan suami-istri yang telah lama menikah tetapi gagal membina kehidupan seksual yang harmonis karena ketidakmengertian tentang seksualitas, baik seksualitas dirinya maupun lawan jenisnya.
Hubungan seksual yang berlangsung benar dan harmonis adalah hasil suatu proses belajar yang didasarkan atas pengetahuan seksualitas yang benar pula. Lalu apakah ini berarti, orang harus berpengalaman seksual dulu sebelum menikah? Tentu saja tidak harus demikian, karena ada nilai-nilai yang mengatur hubungan seksual antarmanusia. Maka akan sangat bermanfaat dan sangat membantu bila pasangan suami-istri dibekali dengan pendidikan seks sebelumnya. Tentu saja materinya disesuaikan dengan usia dan kebutuhan mereka sebagai orang dewasa, calon pengantin.
Memang terasa janggal kalau sepasang pengantin baru memasuki kamar pengantin, tetapi tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan mereka lakukan. Salah-salah, akibat buruk yang terjadi, seperti pada kedua kasus di atas.
Pendidikan seks khusus untuk orang dewasa atau calon pengantin dapat diberikan dalam bentuk satu paket kursus, yang membahas tentang seksualitas laki-laki dan perempuan. Teknik melakukan hubungan seksual merupakan sebagian materi khusus itu. Dengan demikian, pengantin baru memiliki pengetahuan yang cukup tentang seksualitas dirinya dan lawan jenisnya, dan tentu saja tentang apa yang mereka lakukan pada malam pertama. Materi pendidikan seks untuk orang dewasa ini tentu saja sangat berbeda dengan materi pendidikan seks untuk remaja, apalagi untuk anak-anak.
Dengan memiliki pengetahuan yang benar tentang seksualitas diri sendiri dan lawan jenisnya, hubungan seksual pertama kali akan berlangsung lebih baik walaupun mungkin belum seperti yang diharapkan. Tetapi paling tidak, trauma seksual dapat dihindari sehingga tidak terjadi akibat buruk seperti yang dialami oleh kedua kasus di atas. Selanjutnya melalui proses belajar pasangan itu harus berusaha membina kehidupan seksualnya agar berlangsung harmonis.
Walaupun demikian, bukan berarti gangguan seksual tidak akan terjadi sama sekali. Gangguan fungsi seksual yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam hubungan seksual, mungkin saja terjadi mengingat faktor penyebabnya bervariasi. Kalau ini terjadi diharapkan pasangan itu menyadari, gangguan yang ada harus dilenyapkan agar dapat dicapai kehidupan seksual yang harmonis.
Views
1 komentar:
Nah maka kada marasa leh lain luang nya :D rupanya bakadap haja saku jadi kada mancangangi hehehehehehehe...
nice topic :D
Posting Komentar